Breaking News

Senin, 16 Januari 2017

Sejarah celancang-purwawinangun

Kira-kira 3 km di sebelah utara pengguron Agama Islam Puser Bhumi Setana Gunung Jati terdapat Pasar Celancang yang padat dengan para pedagang dan pembeli dari bebereapa desa yang berada di wilayah kecematan Kapetakan, Kecamatan Cirebon Utara dan Kecamatan Weru. Dilewati jalur jalan raya Cirebon – Indramayu dan angkutan pedesaan Celancang – Plered.

Sebelum adanya pasar Celancang, di lokasi balai Desa Purwawinangun dulu ada pasar yang dikenal dengan sebutan Pasar Gentong. Karena disitu letak persinggahan para penjual “getak” dengan cara dipikul dari jamblang yang diantaranya barang-barang tersebut adalah gentong, anglo, celengan semar-semaran, padasan dan sebagainya, untuk dijajakan ke daerah lain.Kemudian karena terlalu padatnya dengan para pedagang dan sebelah selatan yang sekarang dikelan dengan sebutan Pasar Celancang.

Nama Celancang itu sendiri berasal dari kata “nyancang” atau tempat menambatkan perahu di Bengawan Celancang. Keterangan ini diperkuat dengan catatan peristiwa sejarah yang terjadi sekitar tahun 1415 Masehi. Saat itu telah berlabuh lebih dari seratus perahu besar dari Cina dibawah pimpinan Laksamana Cheng Hwa atau Te Ho dengan membawa sekitar 27.800 orang prajurit. Yang bermaksud membeli perbekalan yang sudah habis, seperti air dan berbagai bahan makanan sebagai bekal di perjalanan ke kerajaan Majapahit di jawa Timur. Mereka diperintahkan oleh maharaja Cina yang bergelar Yu Wang Lo ataut disebut namanya Cheng Tu dari Dinasti Ming. Kedatangan bala tentara Cina itu dikawal oleh bebereapa orang perwira dari Sumatra, yang diperintah oleh Sang Aditya Warman seorang ratu yang sejajar dengan kerajaan Majapahit.

Ratu Singapura sebagai Mangkubumi Kerajaan Sunda bernama Kyai Geng Jumjan Jati atau Kyai Geng Tapa yang merangkap pula sebagai juru labuhan atau Syah Bandar Muhara Jati. Menyambut kedatangan mereka dengan senang hati. Sang Laksamana Cheng Hwa atau Te Ho memerintahkan kepada Khung Way Ping disertai beberapa prajurit lainnya agar membuat menara laut tepanya di sebelah timur Gunung Jati. Bahwa dibuatnya menara laut agar dapat diketahui dari lautan adanya pelabuhan. Pembuatan menara laut oleh bala tentara Cina, memaksakan mereka harus tinggal semalam tujuh hari tujuh malam. Selama itu seluruh bala tentara Cina yang datang mendapat penghormatan dari Ki Juru Labuhan dengan memberikan makan dan minum, yang masih tinggal di dalam kapal juga tidak dilewatkannya. Ketika itu Maharaja Sunda telah lama bersahabat dengan Maharaja Cina. Setelah selesai pembuatan menara laut, Ki Juru Labuhan menggantinya dengan garam, terasi, beras tuton, sayur mayor dan kayu jati. Menara laut tersebut dinamai Menara Te Ho (Pangeran Arya Carbon, 1720 M, Purwaka Caruban Nagari).

Desa Perwawinangun termasuk wilayah Kecematan Kapetakan Paling selatan semula terdiri dari tiga desa yang digabungkan, yaitu Desa Kecitran, Desa Muara dan Desa Pabean diperkirakan antara tahun 1930 sampai tahun 1940. Adapun Kuwu dari ketiga desa tersebut adalah Kuwu Hamzah di Desa Kecitran, Kuwu Siwan dan Kuwu Carman di Desa Muara, Kuwu Punuk dan Kuwu Satu di Desa Pabean, Dari penggabungan ke tiga desa itu terbentuk desa yang baru dinamai Desa Purwawinangun. Purwa artinya awal dan winangun artinya membangun, jadi awal pembangunan dari masyarakat tiga desa dalam satu kesatuan. Benda peninggalan berbentuk bareng (kemuang) sebanyak dua buah sama besar terbuat dari besi dengan diameter kira-kira 20 cm, sebutannya Ki Geger dan Nyi Beser. Kedua barang tersebut disimpan di rumah kuwu yang baru.

Kacitran diambil dari nama seorang tokoh panutan masyarakat bernama Ki Citra, kemudian mengalami perubahan ucapan menjadi Kecitran. Kehidupan Ki Citra mengabdikan diri kepada Ki Ageng Mertsinga bernama P. Sukmajanegara. Karena ketulusan dalam pengabdiannya, maka Ki Ageng Mertasinga menganggap saudara sendiri kepada Ki Citra, sampai akhir hayatnya Ki Citra dimakamkan di Desa Mertasinga sekarang.

Sebelum mengabdikan diri kepada P. Sukmajanegara di Mertasinga, Ki Citra telah membangun Masjid dan Sumur Marikangen.

Disamping memberikan pendidikan Agama Islam kepada penduduk, membereikan pula keterampilan, diantaranya adalah pertukangan bangunan, mewarnai kain (celep) dengan menggunakan cara tradisional dan kesenian Terbang. Mewarnai dengan menggunakan cara tradisional yaitu menggunakan tumbahan daun ketapang muda, bila menghendaki warna merah, sedangkan bila mengiginkan warna hijau, kain itu direndam dalam lumpur, kemudian direndam pula pada larutan tumbuhan daun ketapang muda dicampur dengan tumbuhan daun ketapang kering.

Pabean aslal kata dari bea, semacam pungutan pajak bagi kapal yang berlabuh. Ketika itu telah banyak kapal dagang yang datang dari negeri lain seperti negeri Cina, Arab, Persia, India, Malaka, Tumasik, Madura, Makasar, dan Palembang. Ki Citra mempunyai saudara bernama Ki Bratayudha atau disebut pula Ki Jagayudha. Bratayudha berada di Blok Kecitaran Wetan.

Read more ...

syech magelung sakti dan nyimas gandasari

babad cirebon Syekh Magelung Sakti dan Nyi Mas Gandasari

Syekh Magelung Sakti alias Syarif Syam alias Pangeran Soka alias Pangeran Karangkendal. Konon Syekh Magelung Sakti berasal dari negeri Syam (Syria), hingga kemudian dikenal sebagai Syarif Syam. Namun, ada pula yang berpendapat bahwa ia berasal dari negeri Yaman.

Syarif Syam memiliki rambut yang sangat panjang, rambutnya sendiri panjangnya hingga menyentuh tanah, oleh karenanya ia lebih sering mengikat rambutnya (gelung). Sehingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Syekh Magelung (Syekh dengan rambut yang tergelung).

Mengapa ia memiliki rambut yang sangat panjang ialah karena rambutnya tidak bisa dipotong dengan apapun dan oleh siapapun. Karenanya, kemudian ia berkelana dari satu tempat ke tempat lain untuk mencari siapa yang sanggup untuk memotong rambut panjangnya itu. Jika ia berhasil menemukannya, orang tersebut akan diangkat sebagai gurunya. Hingga akhirnya ia tiba di Tanah Jawa, tepatnya di Cirebon.

Pada sekitar abad XV di Karangkendal hidup seorang yang bernama Ki Tarsiman atau Ki Krayunan atau Ki Gede Karangkendal, bahkan disebut pula dengan julukan Buyut Selawe, karena mempunyai 25 anak dari istrinya bernama Nyi Sekar. Diduga, mereka itulah orang tua angkat Syarif Syam di Cirebon.

Konon, Syarif Syam datang di pantai utara Cirebon mencari seorang guru seperti yang pernah ditunjukkan dalam tabirnya, yaitu salah seorang waliyullah di Cirebon. Dan di sinilah ia bertemu dengan seorang tua yang sanggup dengan mudahnya memotong rambut panjangnya itu. Orang itu tak lain adalah Sunan Gunung Jati. Syarif Syam pun dengan gembira kemudian menjadi murid dari Sunan Gunung Jati, dan namanya pun berubah menjadi Pangeran Soka (asal kata suka). Tempat dimana rambut Syarif Syam berhasil dipotong kemudian diberinama Karanggetas.

Setelah berguru kepada Sunan Gunung Jati di Cirebon, Syarif Syam alias Syekh Magelung Sakti diberi tugas mengembangkan ajaran Islam di wilayah utara. Ia pun kemudian tinggal di Karangkendal, Kapetakan, sekitar 19 km sebelah utara Cirebon, hingga kemudian wafat dan dimakamkan di sana hingga kemudian ia lebih dikenal sebagai Pangeran Karangkendal.

Sesuai cerita yang berkembang di tengah masyarakat atau orang-orang tua tempo dulu, pada masa lalu Syekh Magelung Sakti menundukkan Ki Gede Tersana dari Kertasemaya, Indramayu, sehingga anak buah Ki Tarsana tersebut yang berupa makhluk halus pun turut takluk. Namun, makhluk gaib melalui Ki Tersana meminta syarat agar setiap tahunnya diberi makan berupa sesajen rujak wuni. Dari cerita inilah selanjutnya, tradisi menyerahkan sesajen daging mentah tersebut berlangsung setiap tahun di Karangkendal.

Sosok Syekh Magelung Sakti tidak dapat dilepaskan dari Nyi Mas Gandasari, yang kemudian menjadi istri beliau. Pertemuan keduanya terjadi saat Syekh Magelung Sakti yang di kenal juga sebagai Pangeran
Soka, ditugaskan untuk berkeliling ke arah barat Cirebon. Pada saat ia baru saja selesai mempelajari tasawuf dari Sunan Gunung Jati, dan mendengar berita tentang sayembara Nyi Mas Gandasari yang sedang mencari pasangan hidupnya.

Babad Cerbon juga tidak jelas menyebutkan siapakah yang dimaksud sebagai putri Mesir itu. Namun, menurut masyarakat di sekitar makam Nyi Mas Gandasari di Panguragan, dipercaya bahwa Nyi Mas Gandasari berasal dari Aceh, adik dari Tubagus Pasei atau Fatahillah, putri dari Mahdar Ibrahim bin Abdul Ghafur bin Barkah Zainal Alim. Ia diajak serta oleh Ki Ageng Selapandan sejak kecil dan diangkat sebagai anak, saat sepulangnya menunaikan ibadah haji ke Makkah.

Versi lain menyebutkan bahwa Nyi Mas Gandasari, yang sebenarnya adalah putri Sultan Hud dari Kesultanan Basem Paseh (berdarah Timur Tengah), merupakan salah satu murid di pesantren Islam putri yang didirikan oleh Ki Ageng Selapandan.

Konon, karena kecantikan dan kepandaiannya dalam ilmu bela diri, telah berhasil menipu pangeran dari Rajagaluh, sebuah negara bawahan dari kerajaan Hindu Galuh-Pajajaran (yang kemudian menjadi raja dan bernama Prabu Cakraningrat). Pada waktu itu, Cakraningrat tertarik untuk menjadikannya sebagai istri. Tak segan-segan ia pun diajaknya berkeliling ke seluruh pelosok isi kerajaan, bahkan sampai dengan ke tempat-tempat yang amat rahasia. Hal inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh Pangeran Cakrabuana, orang tua angkat Nyi Mas Gandasari untuk kemudian menyerang Rajagaluh.

Ki Ageng Selapandan yang juga adalah Ki Kuwu Cirebon waktu itu dikenal juga dengan sebutan Pangeran Cakrabuana (masih keturunan Prabu Siliwangi dari Kerajaan Hindu Pajajaran), berkeinginan agar anak angkatnya, Nyi Mas Gandasari, segera menikah. Setelah meminta nasihat Sunan Gunung Jati, gurunya, keinginan ayahnya tersebut disetujui Putri Selapandan dengan syarat calon suaminya harus pria yang memiliki ilmu lebih dari dirinya.

Meskipun telah banyak yang meminangnya, ia tidak bisa menerimanya begitu saja dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan. Oleh karenanya kemudian ia pun mengadakan sayembara untuk maksud tersebut, sejumlah pangeran, pendekar, maupun rakyat biasa dipersilakan berupaya menjajal kemampuan kesaktian sang putri. Siapapun yang sanggup mengalahkannya dalam ilmu bela diri maka itulah jodohnya. Banyak diantaranya
pangeran dan ksatria yang mencoba mengikutinya tetapi tidak ada satu pun yang berhasil. Seperti Ki Pekik, Ki Gede Pekandangan, Ki Gede Kapringan serta pendatang dari negeri Cina, Ki Dampu Awang atau Kyai Jangkar berhasil dikalahkannya.

Hingga akhirnya Pangeran Soka memasuki arena sayembara. Meskipun keduanya tampak imbang, namun karena faktor kelelahan Nyi Mas Gandasari pun akhirnya menyerah dan kemudian berlindung di balik Sunan Gunung Jati.

Namun, Pangeran Soka terus menyerangnya dan mencoba menyerang Nyi Mas Gandasari dan hampir saja mengenai kepala Sunan Gunung Jati. Tetapi sebelum tangan Pangeran Soka menyentuh Sunan Gunung Jati, Pangeran
Soka menjadi lemas tak berdaya. Sunan Gunung Jati pun kemudian membantunya dan menyatakan bahwa tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah. Namun, kemudian keduanya dinikahkan oleh Sunan Gunung Jati.

Selain berjasa dalam syiar Islam di Cirebon dan sekitarnya, Syarif Sam dikenal sebagai
tokoh ulama yang mempunyai ilmu kanuragan tinggi pada zamannya. Ia membangun semacam pesanggrahan yang dijadikan sebagai tempat ia melakukan syiar Islam dan mempunyai banyak pengikut. Sampai dengan akhir hayatnya, Syekh Magelung Sakti dimakamkan di Karangkendal, dan sampai
sekarang tempat tersebut selalu diziarahi orang dari berbagai daerah.

PRAGAT
Read more ...

Perang kedongdong 1802-1818 perlawanan ki bagus rangin dan rakyat cirebon

Sebelum terjadinya perang Diponegoro yang berlangsung pada 1825 – 1830, sejarah mencatat perang terlama di Cirebon dengan tokoh pejuangnya bernama Ki Bagus Rangin. Perang tersebut dikenal masyarakat lokal dengan perang kedongdong  (1802-1818). Dengan tujuan yang sama dengan perang diponegoro yakni melawan penjajah.

Dikala itu, kesewenangan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak bernilai tinggi kepada rakyat, kerja paksa, dan kondisi masyarakat yang miskin serta serba kesulitan. Melihat kondisi tersebut, Ki Bagus Rangin melakukan pemberontakan. Ia mengobarkan peperangan di wilayah Cirebon. Selain dukungan tenaga, ia pun memperoleh dukungan senjata dan logistik.

Dalam perang kedongdong tersebut, perlawanan rakyat dipimpin oleh Ki Bagus Rangin yang berlatar belakang dari lingkungan yang religius, belajar ilmu umum dan ilmu bela diri. Ayah Ki Bagus Rangin adalah kiai dan memiliki banyak murid. Selain dari kaum santri, pasukan Ki Bagus Rangin juga mendapat dukungan dari berbagai daerah seperti Sumedang, Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan Kuningan hingga berjumlah 40.000 orang.

Pergolakkan perlawanan juga bertambah setelah pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Kanoman IV memutuskan keluar dari keraton untuk bergabung bersama rakyat. Hal demikian membuat perlawanan rakyat semakin membara dan terjadi perang dimana-mana. Pihak Belanda semakin terdesak dan mengalami kerugian besar untuk mendanai perang.

Belanda meminta bantuan pasukan Portugis, namun hal itu tidak menciutkan perlawanan rakyat. Perang besar tersebut terjadi di desa Kedongdong Kecamatan Susukan, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban gugur dari kedua belah pihak, Belanda menyadari bahwa tidak bisa melawan rakyat dengan cara frontal, dengan siasat liciknya, sultan Kanoman di tangkap dan di tahan ke Ambon. Dengan tujuan agar semangat perlawanan rakyat menciut.

Namun, perlawanan rakyat semakin menjadi-jadi. Belanda semakin kewalahan karena setiap hari rakyat melakukan penyerangan dan pembakaran rumah-rumah dan bangunan yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Cirebon. Akhirnya, Sultan Kanoman di kembalikan meskipun dia tidak memiliki hak atas kesultanan di keraton Kanoman.

Ki Bagus Rangin tak habis akal, dia berfikir sasaran perjuangan harus diubah, karena kedudukan sultan sangat tergantung pada kebijakan pemerintah Belanda. Maka, dia beranggapan sebisa mungkin harus mendirikan negara sendiri dengan tujuan tidak akan ada kerja paksa dan pungutan paksa. Negara tersebut dinamai Pancatengah yang berpusat di Bantarjati, pinggir sungai Cimanuk.

Namun pada 1810 pihak kolonial mengirim pasukan untuk menumpaskan Ki Bagus Rangin dari bantarjati. Disitu terjadi perang dan lagi-lagi menewaskan banyak pasukan. Ki Bagus Rangin dan pasukannya terdesak dan terpaksa mundur.

Setahun kemudian, wilayah nusantara dikuasai oleh Raffles dari Inggris , Ki Bagus Rangin menganggap bahwa kekuasaan tersebut tidak jauh berbeda dengan penjajah sebelumnya. Maka ia pun tetap mengumpulkan kekuatan untuk meneruskan perjuangannya.

Kemudian pada 16-29 februari 1812 kembali terjadi perang di Bantarjati, Ki Bagus Rangin kembali mengalami kekalahan karena jumlah pasukan dan senjata yang tidak seimbang. Mereka terdesak mundur sampai di daerah Panongan. Disanalah Ki Bagus Rangin gugur pada 27 juni 1812. Namun perjuangan tersebut masih diteruskan oleh keponakan Bagus Rangin pada 1816, oleh bagus Serit dan Nairem  juga oleh para santri dan lain-lain.

Dikutip dari salah satu media, Diakui atau tidak dalam sejarah pergerakan bangsa Nairem dan kawan-kawannya merupakan suatu entitas yang berjuang untuk kemerdekaan. Dalam kelompok tertentu pemantiknya adalah kelompok santri, baik yang beraliran mistis, fundamentalis, atau pun abu-abu. Gerakan proses sosial waktu itu seringkali diperkuat perasaan keagamaan dan menjadi gerakan politik.

Meskipun perang kedongdong luput dari catatan sejarah Nasional, Pertempuran ini merugikan bagi pihak Belanda baik harta maupun nyawa, hal tersebut di tulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp.
( dari berbagai sumber )
( weru sing kiai jafar shodiq )
Read more ...

Peninggalan kerajaan singapura celancang




Sejarah Kerajaan Mertasinga, merupakan bagian dari rangkaian asal-usul Kesultanan Cirebon. Sisa peninggalan kerajaan, berupa Lawang Gede Si Blawong, yang sampai sekarang masih bisa di lihat di Desa Mertasinga, Kec. Gunungjati, Kab. Cirebon.
Lawang Gede merupakan bukti peninggalan sejarah berdirinya kerajaan Mertasinga di masa lalu. Konon, beberapa abdi dalem keraton Cirebon pada awal abad ke– 17, merasa tidak nyaman tinggal di dalam Istana, karena dominasi pemerintah Kolonial Belanda. Oleh karena itu, beberapa pangeran yang tidak mau bekerja sama dengan Belanda, termasuk di antaranya Pangeran Suryanegara lebih memilih meninggalkan keraton.
     Pangeran Suryanegara kemudian pergi ke arah utara dan tinggal secara berpindah-pindah. Di setiap daerah yang di singgahinya, Pangeran Suryanegara mengajarkan Agama Islam dan mengembangkan bidang pertanian. Menurutnya, kalau rakyat makmur Negara aman.
     Hidup Pangeran Suryanegara selalu di kejar-kejar pasukan Belanda dan Pasukan Keraton Cirebon yang sudah di pengaruhi Belanda. Di Desa Krangkeng yang letaknya sekarang di wilayah perbatasan Indramayu-Cirebon, Pangeran Suryanegara mendapat dukungan Nyi Lodaya yang di anggap masyarakat sebagai penguasa laut utara dan merajai bangsa Siluman.
     Tempat yang pernah di singgahi Pangeran Suryanegara antara lain Desa Bulak Kec. Jatibarang kab. Indramayu, Desa/kec. Jati Tujuh Kab. Majalengka, Desa Lemah Tamba Kec. Panguragan Kab. Cirebon, Pagertoya dan berakhir di Mertasinga.
Sewaktu singgah di desa Bulak, dia mendapati usaha pertaniaan di desa setempat kurang berhasil karena kekurangan air. Maka bersama warga setempat kemudian di buatlah sebuah penampungan air(DAM). Demikian juga ketika dia singgah di sebuah desa yang sekarang bernama Pagertoya.
     Pangeran Suryanegara merupakan penggerak pemberontakan rakyat terhadap kolonialisme Belanda yang memicu terjadinya perang Kedongdong(1753-1773). Perang Kedongdong sendiri, menurut Kartini, terjadi akibat pertentangan yang terjadi antar abdi dalam istana yang di adu-domba kolonialis. ”Kedongdong sendiri merupakan pengibaratan buah kedongdong yang bagus di luar tapi ruwed di dalamnya,” kata Kartini.
     Namun kebetulan salah satu basis pasukan Pangeran Suryanegara ada yang berada di desa Kedongdong Kec. Susukan dan kebetulan di sana pernah terjadi ledakan pemberontakan sehingga sebagian orang mengaitkan perang Kedongdong dengan desa Kedongdong Kec. Susukan. Pemberontakan kedua terjadi antara tahun 1818 hingga 1845, di pimpin Ki Bagus Serit.
     Mertasinga juga merupakan bekas pusat kerajaan Singapura yang pernah ada di Cirebon. Singapura bermakna kota berbagai bangsa. Hal tersebut dapat di lihat dari posisinya sebagai daerah yang wilayahnya berada di tepi pantai dan memiliki pelabuhan yang sangat ramai serta di singgahi kapal-kapal yang berlabuh di Muara Jati. Singapura terletak kira-kira 2 kilometer sebelah utara negeri Surantaka, Sebelah barat dengan negeri Wangiri, sebelah utara dengan negeri Japura dan sebelah timur dengan laut Jawa. Sedangkan pusat pemerintahannya berada di desa Mertasinga.
     Saat ini Lawang Gede, ramai di kunjungi para peziarah yang datang dari berbagai tempat di wilayah Cirebon. Bahkan tempat ini di jadikan sebagai tempat nyepi bagi mereka yang sedang mendapatkan kesusahan maupun mereka yang ingin meraih keinginan tertentu. Tempat ini di anggap keramat oleh sebagian masyarakat. Setiap tahun, tepatnya tanggal 1 Syuro, tempat ini ramai di kunjungi orang. Bahkan warga setempat menggelar peringatan 1 Syuro sebagai hari ulang tahun Cirebon secara meriah. Dalam kesempatan itu pula di bacakan sejarah Mertasinga.
( situs resmi ds.mertasinga )
( izin copas pa kuwu )
Read more ...

Sabtu, 14 Januari 2017

Proklamasi pertama kali dibacakan di cirebon?

Proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dibacakan oleh Bung Karno pada tanggal 17 Agustus di Jalan Pegangsaan Timur 56, Jakarta Pusat adalah momen yang membanggakan bagi Rakyat Indonesia. Setelah selama 3,5 abad dijajah Belanda dan ditambah 3,5 tahun penjajahan Jepang, akhirnya bangsa ini menyatakan diri sebagai negara yang merdeka.

Namun tahukah Anda bahwa proklamasi kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus tersebut bukanlah proklamasi kemerdekaan yang pertama? Sebelumnya, teks kemerdekaan tersebut telah dibacakan oleh Dr. Sudarsono (Kepala RSU Kesambi pada 1945/sekarang RSUD Gunungjati) di Cirebon pada tanggal 15 Agustus. Naskah proklamasi yang terdiri dari 300 kata tersebut diketik oleh Sutan Sjahrir , Ketua Partai Nasional Indonesia dan dibacakan di hadapan 150-an orang (mayoritas kader Partai PNI ) di alun-alun Kejaksan Cirebon. Dan, proklamasi 15 Agustus tersebut disebut sebagai Proklamasi Cirebon

APAKAH BETUL? APA BUKTINYA?
Begitu mendengar kabar bahwa Jepang menyerah pada sekutu, pemuda-pemuda Cirebon yang dikepalai oleh Sutan Sjahrir ingin agar bangsa ini secepatnya memproklamirkan kemerdekaan. Maka merekapun mendesak Bung Karno untuk segera memproklamirkan Indonesia. Namun karena kondisi politik di Jakarta yang semakin memanas, Bung Karno memilih untuk tidak tergesa-gesa.  Ia menolak keinginan sebagian pemimpin muda untuk segera memerdekakan diri. Menurut Soekarno, jika proklamasi dilakukan terburu-buru, akan terjadi pertumpahan darah karena secara de facto Jepang masih berkuasa di Indonesia, sementara kabar menyerahnya Jepang kepada Sekutu juga belum dapat dikonfirmasi.

Meski begitu, Sjahrir berpegang pada janji Soekarno yang akan membacakan proklamasi kemerdekaan secepatnya, namun sampai tanggal 15 Agustus petang hari, janji tersebut tidak juga terlaksana sementara rakyat di Cirebon sudah gelisah dengan kepastian tersebut. Akhirnya Soedarsono membacakan proklamasi kemerdekaan Indonesia untuk pertama kalinya dari Alun-alun Kejaksaan. Namun, jejak dari naskah Proklamasi yang dibacakan itu tak lagi ditemukan, yang ada hanya Tugu Proklamasi Cirebon sebagai saksi sejarah kemerdekaan yang pertama di Indonesia itu.

Pada tanggal 16 Agustus, barisan pemuda yang tidak sabar ingin segera melihat Indonesia merdeka menculik Bung Karno ke Rengasdengklok, barulah keesokan harinya naskah proklamasi kemerdekaan yang diketik oleh Sayuti Melik tersebut dibacakan dan berita kemerdekaan bangsa ini disiarkan ke seluruh negeri. Sementara di Kota Cirebon, sebuah tugu berwarna putih dengan ujung lancip menyerupai pensil  berdiri tegak di tengah jalan di dekat alun-alun Kejaksan. Tugu tersebut merupakan saksi sejarah dari Proklamasi Cirebon saat itu

Read more ...

Kamis, 12 Januari 2017

Silsilah sunan gunungjati sampai rasulallah?

Susuhunan Jati Purba ( sunan gunung jati ) itu putera Syarif Abdullah yang beristrikan puteri dari negeri Mesir.  (Ali) Nurul Alim putera Jamaludin berasal dari negeri Kemboja, ialah putera Jamaludin.

Jamaludin putera Amir,

Amir putera Abdulmalik berasal dari negeri India,

Ia adalah putera Alwi berasal dari negeri Mesir.

Alwi putera Muhamad.

Muhamad putera Ali Gajam

Ali putera Alwi

Alwi putera Muhamad

Muhamad putera Baidilah

Baidilah putera Ahmad

Ahmad putera al Bakir

Al Bakir putera Idris

Idris putera Kasim al malik

Kasim al Malik putera Jafar Sadiq

Dari Parsi

Jafar Sadqk putera Muhamad Bakir

Muhamad Bakir putera Ali Jaenal Abidin

Ali Jenal Abidin putera Sayidina Husein

Sayidina Husein putera Sayidina Ali yang beristrikan Siti Patimah, puteri Rasul Muhammad Nabi yang mulia…



(Atja, 1986:174-175)
Read more ...

Rabu, 11 Januari 2017

Air susu di laut


Syahdan, Mbah Kholil Bangkalan Madura memanggil tiga santrinya, Mbah Manab (kelak menjadi pendiri Lirboyo) dan dua orang santri lainnya. “Anu Cung, tolong sampean carikan air susu di laut.”

Saling pandang sejenak, ketiganya menjawab kompak, “Enggih, Kiai…”

Setelah pamitan mereka langsung berangkat. Dengan bekal keyakinan bahwa dawuh guru walaupun kelihatan mustahil tetap harus dilaksanakan. Selama tiga hari tiga malam mencari di lautan, ternyata hasilnya nihil.

Di tengah keputusasaan ketiganya bermusyawarah. “Bagaimana ini?”

“Lha iya, kalau kita jawab tidak ada berarti kan sama saja mengatakan guru kita tidak tahu, bodoh?” “Seperti beli rokok di toko bangunan,” jawab lainnya.

“Wah gini saja, bagaimana kalau kita jawab ‘Kami belum menemukan, Kiai,'” kata yang ketiga. Yang akhirnya jawaban ini disetujui dua orang temannya.

Lalu ketiganya sowan kembali ke Mbah Kholil, dan mengatakan kalau belum menemukan.

“Oh gitu. Ayo kalian ikut saya,” kata Mbah KH. Kholil singkat.

Kemudian beliau mengajak ke tepi laut. Mengeluarkan gelas yang dibawa dari rumah dan mengambil air laut dengan gelasnya. Aneh bin ajaib, ternyata air laut itu berubah menjadi susu! “Sekarang mintalah kepada Allah keinginan kalian, dengan lantaranku.” Ucap Mbah Kholil.

Dua orang santri pertama meminta agar kaya raya. Sedangkan Mbah Manab meminta ilmu yang bermanfaat. Kelak keinginan mereka terkabul. Dua orang santri itu benar-benar kaya raya, namun kekayaannya habis berbarengan dengan meninggalnya. Sedangkan Mbah Manab bisa mendirikian Pondok Pesantren Lirboyo yang santrinya menyebar ke seluruh Nusantara.
Read more ...

Selasa, 10 Januari 2017

Wedus sakti mbah soleh darat



Kisah ini saya dapatkan dari KH Mukri Rohman, imam Masjid Kyai Sholeh Darat kampung Melayu Darat, Semarang Utara yang mengasuh pengajian kitab Majmu' Syariat al-Kafiyat lil Awam, salah satu karya KH Sholeh Darat yang cukup populer.

Kiai Mukri mendengar cerita ini dari gurunya, KH Bisri Mustofa, sewaktu beliau mondok di Pondok Pesantren Leteh, Rembang, Jawa Tengah, pada tahun 1970-an. Menurut cerita ayah KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) itu, pada suatu hari KH Sholeh Darat yang sudah kembali dari Mekah dan tinggal di nDarat Semarang kedatangan tamu seorang tokoh yang terkenal sakti asal Jawa Timur. Si tokoh sudah biasa dipanggil kiai.

Tamu tersebut datang di malam hari.  Karena Kiai Sholeh sedang mengajar ngaji, seorang santri mempersilakan sang tamu menunggu di serambi langgar seraya disuguhi minuman. Langgar yang dibangun oleh mertua Mbah Sholeh, Kiai Murtadho, itu berbentuk panggung dan terbuat dari kayu jati.

Usai mengaji, Mbah Sholeh menemui tamunya tersebut.

"Jenengan tindhak mriki nithih napa (Anda datang ke sini naik apa?)," tanya tuan rumah kepada si tamu.

"Numpak macan (naik harimau)," jawab si tamu dengan nuansa pamer.  Maklum saat itu tunggangan yang biasa dipakai orang umum adalah kuda.

"Lho, dicancang teng pundi macane (diikat di mana harimau itu?)"

"Saya ikat di luar pagar sana itu. Khawatir menakuti santri-santri jenengan."

Mbah Sholeh hanya tersenyum. Lantas menyuruh santrinya menuntun macan besar tunggangan tamunya itu. Santri nDarat ternyata sama sekali tidak takut pada macan.

"Masukkan kandang, Kang. Biar tidak kedinginan atau kehujanan," perintah Mbah Sholeh kepada santrinya.

Mengatahui bahwa yang dimaksud adalah kandang kambing, si tamu jadi khawatir.

"Jangan dimasukkan kandang,  Mbah. Nanti kambing jenengan dimakan sama macan saya," ujarnya yang hanya ditimpali senyum sang tuan rumah.

"Tak apa-apa. Kambing saya akan aman kok," jawab Mbah Sholeh seraya menggamit tangan si tamu untuk menenangkannya. Lalu dipersilakan menuju kamar untuk dipersilakan istirahat.

Sebelum tidur malam itu, si tamu membayangkan macannya pasti telah menerkam kambing-kambing milik Mbah Sholeh dan esoknya akan ada banyak bangkai.  Namun karena kelelahan, matanya segera terpejam.

Pagi hari usai diajak berbincang dan dijamu makanan oleh tuan rumah, dia bergegas menengok ke kandang. Betapa terperanjatnya dia, bukan bangkai kambing yang ditemukan, malah macannya yang mati. Tergeletak kaku di samping barisan kambing yang riuh mengembik.

"Mbeeek... Mbeeekkk...” suara kambing gaduh seperti meminta bangkai macan segera disingkirkan. Seekor kambing powel yang jenggotnya panjang, mulutnya tampak merah. Diduga kuat, si kambing itulah yang membunuh si macan.

Akhirnya si tamu meminta maaf dan menyesali kesombongannya. Dia menyadari betapa rendah ilmunya dibanding sang kiai yang pernah jadi qadhi di Mekah dan menjadi mahaguru dari gurunya para ulama Nusantara ini.* (nu online)
Read more ...
Designed By Published.. Blogger Templates