Dikala itu, kesewenangan pemerintah kolonial Belanda yang menetapkan pajak bernilai tinggi kepada rakyat, kerja paksa, dan kondisi masyarakat yang miskin serta serba kesulitan. Melihat kondisi tersebut, Ki Bagus Rangin melakukan pemberontakan. Ia mengobarkan peperangan di wilayah Cirebon. Selain dukungan tenaga, ia pun memperoleh dukungan senjata dan logistik.
Dalam perang kedongdong tersebut, perlawanan rakyat dipimpin oleh Ki Bagus Rangin yang berlatar belakang dari lingkungan yang religius, belajar ilmu umum dan ilmu bela diri. Ayah Ki Bagus Rangin adalah kiai dan memiliki banyak murid. Selain dari kaum santri, pasukan Ki Bagus Rangin juga mendapat dukungan dari berbagai daerah seperti Sumedang, Cirebon, Majalengka, Indramayu, dan Kuningan hingga berjumlah 40.000 orang.
Pergolakkan perlawanan juga bertambah setelah pangeran Suryanegara, Putra Mahkota Kanoman IV memutuskan keluar dari keraton untuk bergabung bersama rakyat. Hal demikian membuat perlawanan rakyat semakin membara dan terjadi perang dimana-mana. Pihak Belanda semakin terdesak dan mengalami kerugian besar untuk mendanai perang.
Belanda meminta bantuan pasukan Portugis, namun hal itu tidak menciutkan perlawanan rakyat. Perang besar tersebut terjadi di desa Kedongdong Kecamatan Susukan, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu. Ribuan korban gugur dari kedua belah pihak, Belanda menyadari bahwa tidak bisa melawan rakyat dengan cara frontal, dengan siasat liciknya, sultan Kanoman di tangkap dan di tahan ke Ambon. Dengan tujuan agar semangat perlawanan rakyat menciut.
Namun, perlawanan rakyat semakin menjadi-jadi. Belanda semakin kewalahan karena setiap hari rakyat melakukan penyerangan dan pembakaran rumah-rumah dan bangunan yang menjadi simbol kekuasaan Belanda di Cirebon. Akhirnya, Sultan Kanoman di kembalikan meskipun dia tidak memiliki hak atas kesultanan di keraton Kanoman.
Ki Bagus Rangin tak habis akal, dia berfikir sasaran perjuangan harus diubah, karena kedudukan sultan sangat tergantung pada kebijakan pemerintah Belanda. Maka, dia beranggapan sebisa mungkin harus mendirikan negara sendiri dengan tujuan tidak akan ada kerja paksa dan pungutan paksa. Negara tersebut dinamai Pancatengah yang berpusat di Bantarjati, pinggir sungai Cimanuk.
Namun pada 1810 pihak kolonial mengirim pasukan untuk menumpaskan Ki Bagus Rangin dari bantarjati. Disitu terjadi perang dan lagi-lagi menewaskan banyak pasukan. Ki Bagus Rangin dan pasukannya terdesak dan terpaksa mundur.
Setahun kemudian, wilayah nusantara dikuasai oleh Raffles dari Inggris , Ki Bagus Rangin menganggap bahwa kekuasaan tersebut tidak jauh berbeda dengan penjajah sebelumnya. Maka ia pun tetap mengumpulkan kekuatan untuk meneruskan perjuangannya.
Kemudian pada 16-29 februari 1812 kembali terjadi perang di Bantarjati, Ki Bagus Rangin kembali mengalami kekalahan karena jumlah pasukan dan senjata yang tidak seimbang. Mereka terdesak mundur sampai di daerah Panongan. Disanalah Ki Bagus Rangin gugur pada 27 juni 1812. Namun perjuangan tersebut masih diteruskan oleh keponakan Bagus Rangin pada 1816, oleh bagus Serit dan Nairem juga oleh para santri dan lain-lain.
Dikutip dari salah satu media, Diakui atau tidak dalam sejarah pergerakan bangsa Nairem dan kawan-kawannya merupakan suatu entitas yang berjuang untuk kemerdekaan. Dalam kelompok tertentu pemantiknya adalah kelompok santri, baik yang beraliran mistis, fundamentalis, atau pun abu-abu. Gerakan proses sosial waktu itu seringkali diperkuat perasaan keagamaan dan menjadi gerakan politik.
Meskipun perang kedongdong luput dari catatan sejarah Nasional, Pertempuran ini merugikan bagi pihak Belanda baik harta maupun nyawa, hal tersebut di tulis dengan gaya naratif-deskriptif oleh prajurit Belanda bernama Van Der Kamp.
( dari berbagai sumber )
( weru sing kiai jafar shodiq )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar